Thursday, May 3, 2007

Pentingkah pembelajaran kosakata bahasa Arab terhadap anak?
Ilmu bahasa bukanlah ilmu yang sulit, tetapi bahasa merupakan ilmu praktis yang membutuhkan praktek yang berkesinambungan dalam mempelajarinya. Seorang bayi ketika baru lahir belum mengenal bahasa apapun. Kemudian mulailah ia mengenal kata demi kata dari suara yang didengar di sekitarnya. Dari kata-kata itu ia rekam sehingga dapat digunakan di kemudian hari ketika sudah mulai berbicara. Begitu pula apabila seseorang ingin menguasai suatu bahasa, ia harus terlebih dahulu banyak mendengar kosakata bahasa yang ingin dikuasai. Setelah banyak kata dikuasai, barulah ia mulai belajar tata bahasa yang benar dari bahasa tersebut. Oleh karenanya dalam mempelajari bahasa Arab, seseorang haruslah banyak mengenal kosakata bahasa Arab, dan tentu saja mengetahui artinya. Berdasarkan paparan tersebut jelaslah betapa pentingnya pengenalan kosakata bahasa Arab kepada anak-anak sejak dini agar mereka terbiasa dengan kata-kata tersebut.
Pengajaran bahasa Asing untuk usia muda di Indonesia seperti juga pada awal tahun 50-an di Eropa, diilhami oleh keyakinan bahwa belajar bahasa itu lebih awal lebih baik. Meminjam istilah Rod Ellis, the earlier is the better. Keyakinan ini dilandasi pengalaman empiris para linguis/ ahli bahasa seperti Jean Piaget, Lev M. Vygotksy, Daniel Steinberg, dan Lenneberg meskipun mereka sedikit berbeda pandangan dalam melihat proses pengembangan bahasa anak. Vygotksy (1974, dalam Suparno, 2000) yakin bahwa bahasa dapat diperoleh dengan interaksi antara pembelajar dengan orang lain dan alam sekitar melalui proses asimilasi, melibatkan diri dalam bahasa yang akan diperoleh dan akomodasi, menerima masukan bahasa yang berterima (i + 1) untuk diproses dalam cognitive device mereka. Ia menyimpulkan bahwa pembelajaran bahasa asing, seperti halnya bahasa pertama/ ibu, dapat dilakukan dengan mengkreasikan suasana belajar yang mendekati proses nyata pemerolehan bahasa. Dalam istilah Krashen, harus cukup pajanan bahasa (language exposure) sebagai input variable.
Vygotksy, di dukung juga oleh Scott dan Ytreberg (1990), menyatakan bahwa proses pembelajaran untuk usia muda harus memperhatikan karakteristik pembelajar. Scott dan Ytreberg yakin bahwa pembelajar usia muda belajar melalui tindakan (learning by doing), mereka dapat bercakap cakap tentang apa yang sudah dilakukan dan didengar, mereka juga sudah bisa berargumentasi. Selain itu pembelajar usia muda dapat memahami situasi dengan cepat meski mereka hanya bisa mempertahankan konsentrasi dengan periode yang cukup singkat. Pembelajar usia muda senang bermain sendiri dan bekerja sendirian, namun mereka juga bisa bekerja sama dengan orang dewasa. Itu sebabnya pembelajaran bahasa Asing untuk usia muda sebaiknya dilakukan dengan melibatkan pembelajar, mengajak siswa berbuat dan beraktivitas. Ini juga sangat efektif untuk mengakomodir multiple inteligence mereka. Bahwa bahasa dapat diajarkan sejak dini juga didasari dengan keyakinan ahli (Stern dan Weinrib, 1977; Steinberg, 2000; Freeman dan Long, 2000) bahwa dalam perkembangan kognitif anak, ada level yang disebut Zone of Proximal Development atau Critical Period, yaitu masa di mana mereka masih memiliki elastisitas otak (brain plasticity) sehingga bahasa tepat untuk diajarkan. Masa ini diyakini merentang antara 4 tahun hingga menjelang pubertas atau disebut dengan Golden Age. Meski keyakinan ini ada yang menentang tetapi kenyataannya praktek pengajaran bahasa asing (Inggris) untuk usia muda di Eropa maupun di Indonesia telah dilakukan.

No comments: